(Nana R.Wijaya, SS FK-P Kec.Cibeureum Kab.Kuningan)
Sebagaimana penulis kutip dari sebuah hadits yang berbunyi : “Khoirun-naasi Ahsanuhum Khuluqon wa Anfa’uhum linnaas” yang artinya “Sebaik-baiknya manusia ialah yang senantiasa berbuat baik (berbudi pekerti luhur) dan bermanfaat bagi sesamanya.”
Dikisahkan, ada tiga tukang bangunan yang sedang bekerja menumpuk batu bata membangun dinding sebuah bangunan. Satu demi satu, batu bata itu ditumpuk hingga menjulang membentuk sebuah dinding. Tanpa diduga, orang bijak lewat, kemudian bertanya sekaligus ingin menguji kualitas jawaban yang mereka utarakan.
“Wahai anak muda, apa yang sedang kamu kerjakan?” tanya sang bijak kepada orang pertama. Dengan muka yang agak kesal, dia menjawab, “Kamu tak lihat, aku sedang menumpuk batu bata.” Pertanyaan yang sama diajukan kepada orang kedua dan ketiga. Orang kedua menjawab, “Aku sedang membuat tembok yang tinggi.” Giliran orang ketiga yang menjawab, “Aku sedang membangun rumah indah yang paling megah di kota ini.”
Apa yang terlintas saat mendengar ketiga jawaban tersebut? Jawaban pertama menunjukkan dangkalnya pemaknaan seseorang terhadap sesuatu yang ia kerjakan. Tak ubahnya seorang mekanik atau robot, ia hanya bergerak dan berbuat sesuai dengan instruksi pekerjaan yang ada di depan matanya. Baginya, bekerja sekadar menunaikan dan menggugurkan kewajiban. Kewajiban beres, tinggallah menerima upah dari sang majikan. Pekerjaan adalah beban hidup dari hari ke hari yang harus diselesaikan.
Jawaban kedua sedikit agak mending dibandingkan dengan jawaban pertama. Pemaknaan terhadap pekerjaan sedikit lebih jauh dari yang pertama, tetapi belum menunjukkan kedalaman jawaban yang diharapkan. Baginya, pekerjaan dimaknai sebagai kewajiban yang harus ditunaikan sebagai batu loncatan untuk meningkatkan kemampuan dan taraf hidupnya. Semakin banyak dan sering melakukan pekerjaannya, semakin terlatih dan terasah kemampuannya.